Seandainya 8 Tapol  di Jayapura Papua Tidak Ditahan

    Seandainya 8 Tapol  di Jayapura Papua Tidak Ditahan
    Foto saat 8 Tapol aksi Long March menuju Gor depan Mapolda Jayapura Kota

    Jayapura, publikpapua.com - Sejatinya aksi Pengibaran Bintang Kejora dan Long March oleh 8 mahasiswa Papua di GOR Cenderawasih Jayapura pada tanggal 1 Desember 2021, (https://jubi.co.id/enam-pemuda-ditahan-usai-kibarkan-bendera-bintang-kejora-di-gor-cenderawasih/, Sabtu, 4-12-2021, Pukul. 06: 48 WIT), mau menegaskan beberapa hal penting;

    Pertama, Dengan Melakukan Penangkapan terhadap 8 Orang Mahasiwa Papua yang mengibarkan Bintang Fajar, 01 Desember 2021, POLDA Papua telah Membuktikan KEGAGALAN dari Panglima TNI, Andika Perkasa yang berkunjung ke Papua pada 30 November 2021 untuk Menawarkan Solusi Konflik di Papua. Maka, Solusi Konflik West Papua yang ditawarkan Oleh Panglima TNI telah GAGAL TOTAL. POLDA PAPUA Segera Bebaskan.

    Kedua, Fakta Ketidakprofesionalan Badan Inteligen Republik Indonesia-Daerah Papua, Polresta Jayapura, terbukti dari keberhasilan Inteligen menemukan dan Menurunkan Bintang Fajar di GOR Cenderawasih Jayapura pada 01 Desember 2021. Padahal, Lokasi GOR Jayapura lebih dekat dari Mapolda Papua, tetapi Mapolda tidak Menemukannya. Justru dilacak dan ditemukan lalu diturunkan oleh Anggota Polresta Jayapura berpakaian Preman. Salut buat Inteligensi Polresta Jaya. Fakta Kepintaran Badan Inteligen Republik Indonesia – Daerah Papua, Polresta Jayapura, terbukti dari keberhasilan Inteligen menemukan dan Menurunkan Bintang Fajar di GOR Cenderawasih Jayapura pada 01 Desember 2021. Padahal, Lokasi GOR Jayapura lebih dekat dari Mapolda Papua, tetapi Mapolda tidak Menemukannya. Justru dilacak dan ditemukan lalu diturunkan oleh Anggota Polresta Jayapura berpakaian Preman. Salut buat Inteligensi Polresta Jayapura.

    Ketiga, Ternyata, Pemerintah Indonesia telah GAGAL mendidik Penglima TNI Andika Perkasa. Kegagalan itu Nyata dengan adanya Penangkapan terhadap 8 Mahasiswa.

    Keempat, Fakta Kepintaran Kepolisian Kepolisian Republik Indonesia-POLDA PAPUA, yang terbukti dari Penangkapan 8 Mahasiswa Papua di hari Peringatan 60 tahun HUT Manifesto Politik Kemerdekaan West Papua dan Turut serta Berpartisipasi dalam Kampanye tentang: “SELF DETERMINATION for WEST PAPUA”, STOP Militerisme in West Papua, Indonesia Segera membuka Akses bagi Kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB ke West Papua, dan Indonesia Segera membuka Akses bagi Kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB ke West Papua.

    Kelima, Pengibaran Bintang Fajar di GOR Jayapura, 01 Desember 2021 adalah Bukti Kegagalan POLDA Papua.

    Keenam, Pengibaran Bintang Fajar di GOR Jayapura, 01 Desember 2021 dan Penangkapan 8 Mahasiswa Papua adalah BUKTI KEGAGALAN atas Solusi Konflik di West Papua Yang Ditawarkan Oleh Panglima TNI, Andika Perkasa.

    Ketujuh, Kunjungan Panglima TNI, Andika Perkasa di Papua untuk Tawarkan Solusi Konflik di West Papua telah GAGAL TOTAL. Bukti kegagalannya adalah: Pertama, Telah Terjadi Pengibaran Bintang Fajar di Gedung Olahraga (GOR) Jayapura – Provinsi Papua, pada 01 Desember 2021. Kedua, Penangkapan 8 Mahasiswa Papua. Ketiga, Kegagalan dari tawaran Solusi Panglima TNI, Andika Perkasa diperkuat lagi oleh POLDA Papua yang masih menahan 8 orang Mahasiswa Papua. Kunjungan Panglima TNI, Andika Perkasa di Papua untuk Tawarkan Solusi Konflik di West Papua telah GAGAL TOTAL. 

    Dan Jika tidak dibebaskan, maka Panglima TNI Andika Perkasa telah Mempermalukan Dirinya Sendiri. Dan Bahkan KAPOLDA Papua, Irjen Pol Mathius D Fakhiri Malahan Justru Memperkuat Kegagalan Panglima TNI. Hal inilah yang hemat penulis penting diperhatikan oleh pihak berwajib, bahwa seandainya 8 Tapol tidak ditahan, melainkan hanya diamankan tanpa proses hukum, sebab dengan mengiring kasus ini ranah hukum, itu sama seperti pihak berwajib sedang menggali kuburannya sendiri.

    Pelabelan Makar Kepada 8 Tapol Sebagai Bentuk Tuduhan Tanpa Bukti

    Menurut Emanuel Gobai, Direktur  Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) dan Advokat 8 Tapol menyatakan bahwa Pada prinsipnya 8 Mahasiswa Papua dilindungi oleh Asas Praduga Bersalah sehingga sekalipun ada tuduhan dugaan tindak pidana makar yang dilakukan oleh 8 Mahasiswa Papua yang merayakan hari bersejarah Papua dengan mengibarkan Bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih Jayapura namun yang pasti  8 Mahasiswa Papua itu bersalah sebab hanya hakim  di Pengadilan yang berwenang menyatakan mereka bersalah.

     Atas dasar itu, Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua dalam pembelahannya akan membuktikan apakah 8 Mahasiswa Papua pengibar Bendera Bintang Kejora yang bersalah ataukan justru   pemerintah yang belum melakukan kewajibannya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk melakukan pelurusan sejarah papua sesuai perintah Pasal 46, UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua.

    Menurutnya, pada 1 Desember banyak aktivis dan masyarakat Papua yang menjadi korban kiriminalisasi secara represif karena merayakan sejarah Papua, (https://papua.tribunnews.com/2021/12/04/lbh-desak-pemerintah-indonesia-segera-bentuk-kkr-di-papua, Selasa, 7-12-2021, Pukul. 16:10 WIT). Saudara Emanuel Gobai mendesak dibentuknya KKR, agar pemerintah tidak sibuk lagi mengipas asap, namun bisa membenahi tungku dan mematikan baranya (akar masalah).

     Selain itu jika kita bersandar pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KHUP) tentang aksi Makar sendiri, spesifiknya pada pasal 107 ayat 1 berbunyi, “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” Maka terlihat bahwa penetapan 8 Tapol sebagai pelaku Makar pada hakekatnya merupakan tuduhan tanpa bukti, (https://www.kompas.tv/article/238024/8-pemuda-yang-kibarkan-bendera-bintang-kejora-di-samping-polda-papua-resmi-jadi-tersangka-makar, Sabtu, 4-21-2022, Pukul. 07:07 WIT).

    Dengan demikian jika proses penanganan 8 Tapol mau dibawa ke ranah hukum, maka kewajiban pemerintah untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk pelurusan sejarah Papua sesuai amanat Otsus mesti direalisasikan sebab legalitas Aksi Pengibaran Bendera Bintang Kejora dan Long March itu didasarkan dengan fakta hukum dan sejarah yang ada di tanah Papua.

    Masalah 8 Tapol Adalah Masalah Bangsa Papua

    Satu hal penting yang perlu menjadi perhatian pihak keamanan ialah bahwa peristiwa Pengibaran Bintang Fajar di Gor Cenderawasih oleh 8 mahasiswa pada peringatan perayaan kemerdekaan bangsa Papua, 1 Desember 1961-1 Desember 2021, dilakukan atas nama seluruh bangsa Papua dari Sorong sampai Samarai, bukan mewakili diri mereka sendiri, keluarganya, Marganya, Sukunya, Agamanya, dan asalnya. Maka dengan menahan mereka secara tidak adil dan penuh manipulatif, bangsa Papua akan menyatukan sikap untuk mempropagandakan Pembebasan tanpa syarat bagi kedelapan Tapol tersebut, (https://jubi.co.id/pengibaran-bintang-kejora-di-enam-wilayah-papua-mesti-menjadi-refleksi-semua-pihak/, Selasa, 7-12-2021, Pukul. 16:14 WIT).

    Bangsa Papua mesti sadar, juga pihak penguasa, bahwa 8 mahasiswa pengibar Bintang Fajar, adalah murni tahanan politik, dan aksi yang mereka lakukan merupakan aksi politik Pembebasan West Papua paling menyejarah, mengapa demikian? Pertama, mereka dikatakan sebagai tahanan politik murni, sebab aksi yang mereka lakukan adalah murni aksi politik Papua Merdeka, dimana mengibarkan Bintang Fajar pada hari bersejarah bangsa Papua. Bahwa koordinator aksinya sendiri yang menyatakan bahwa mereka mewakili United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) sebagai delegasi resmi rakyat Papua. Sehingga jelas bahwa Persoalan 8 Tapol ini merupakan persoalan seluruh elemen bangsa Papua.

    Jika masalah Tapol adalah masalah bangsa Papua, maka setiap pihak di Papua, mulai dari akar rumput hingga pucuk pimpinan dapat mulai menunjukkan solidaritasnya dengan melakukan suatu bukti nyata bagi dan demi Pembebasan 8 Tapol dan kemerdekaan bangsa Papua;

    Pertama, seluruh pimpinan pergerakan pembebasan bangsa Papua yang bergabung dalam United Liberation Movement For West  baik yang di pusat hingga daerah, agar sesegera mungkin untuk mengadvokasi persoalan penahanan 8 Tapol, khususnya penetapan mereka sebagai pelaku Makar ditingkatkan deal politik internasional. Bahwa inilah waktu yang tepat agar persoalan West Papua mendapatkan tempat yang strategis di dan dalam mekanisme resolusi Konflik PBB.

    Kedua, semua pemimpin Papua, baik yang tunduk dibawah ketiak kolonial maupun yang independen, agar terus menyerukan seruan solidaritas bagi pembebasan 8 Tapol melalui media yang ada.

    Ketiga, seluruh pimpinan Agama lintas keyakinan, untuk senantiasa mendoakan kebebasan 8 Tapol, bila perlu mesti ada ibadah khusus pembebasan kedelapan Tapol tersebut, juga bisa diinisasikan Adanya novena khusus dan intensi doa khusus bagi pembebasan kedelapan Tapol tersebut. Sebab ada pihak Gereja tertentu di Papua yang mengeluarkan Novena khusus penyuksesan kegiatan Pekan Olahraga Nasional XX  dan Papernas di Papua. Kira-kira dimana posisi Gereja. Dewan Gereja telah mengeluarkan seruan profefitisnya pada Kamis, 26 November 2021, dengan mengeluarkan data fantastis prihal pengunsain di Papua yang berkisar 60 ribuh warga sipil, yang mayoritasnya terdiri dari anak-anak kecil, ibu hamil, dan lansia yang rentan dan mereka mendesak PBB untuk turun tangan, paling kurang komisioner Tinggi Dewan HAM PBB untuk memotret kasus Papua, (https://jubi.co.id/60-ribu-warga-sipil-mengungsi-dewan-gereja-papua-minta-pbb-turun-tangan/, Selasa, 7-12-2021, Pukul. 16:24 WIT). Sebagai wujud konkritnya doa bagi pembebasan 8 Tapol dan permohonan kunjungan dewan HAM PBB (KT. HAM PBB) menjadi aksi doa dan permohonan puasa wajib dikalangan jemaat Gereja Papua.

    Penahanan 8 Tapol Bukan Solusi

    Pemerintah Indonesia, spesifiknya aparat kepolisian dan jaksa mengirah bahwa dengan menahan 8 Tapol dan menyangsikan mereka dengan pasal Makar, maka konflik ideologis politis Papua sudah selesai dan final. Makangkali mereka akan menepuk dada bahwa Nasionalisme Free West Papua akan karam, sebab barangsiapa menunjukkan eksistensi nasionalisme Papua merdeka dengan turun jalan akan dikenai pasal Makar. Padahal mau sampai beberapa kali mereka membungkam kebenaran free West Papua, toh tetap saja semakin hari aksi Penuntutan Nasip sendiri di Papua tetap eksis. Bahkan Aksi Pengibaran Bintang Fajar di Jayapura kemarin terbilang sangat menyejarah dan menunjukkan kedunguan aparat keamanan di Mapolda Jayapura. Sebab tanpa beban apa-apa Sang Fajar melangit, padahal lokasinya berpapasan dengan Kantor Polisi.

    Dahsyatnya lagi aksi Pengibaran Bintang Fajar dan Long March oleh 8 Mahasiswa Papua yang mengatasnamakan diri sebagai perwakilan dari United Movement Liberation For West Papua itu terlihat sangat demokratis sekali, mereka tanpa tekanan batin dan gelombang rasa takut dengan santainya menyukseskan aksi kemanusiaan tersebut secara penuh hikmah, sakral, humanis, dan intinya penuh demokratis, sehingga pemerintah belum punya cukup bukti untuk mengklaim aksi ini sebagai bentuk makar, (https://indonews.id/artikel/321928/8-Pengibar-BK-Belum-Bisa-Dikenakan-Pasal-Makar/,   Selasa, 7-12-2021, Pukul. 16:40 WIT).

    Kira-kira apa yang mau didapatkan oleh kepolisian dan kejaksaan negara Indonesia dengan menahan 8 Tapol dan mengenakan hukuman Makar kepada mereka? Apa keuntungan konkrit yang didapat dari penangkapan 8 Tapol dan pelebelan Makar terhadap mereka? Sebab jika sebagai ajang promosi kedisiplinan dan keprofesionalan Polri dan jaksa dalam berkerja rupanya tidak nampak sekali kualitas tersebut, jika ada kesusksesan tugas Polri dan jaksa, kira-kira di mana letaknya dalam konteks kasus Pengibaran Bintang Fajar?

    Hemat penulis yang terlihat hanyalah kegagalan semua perangkat negara, entah Polisi, Tentara, dan Hakim. Sekarang bagaimana dengan aksi Pengibaran Bintang Fajar di tempat lain di Papua, terlebih Aksi Pengibaran Bintang Fajar di daerah Jawa dan sekitarnya, apakah zonasi kinerja Polr, TNI, dan hakim di Papua saja? Apakah wilayah lainnya yang terdapat aksi Pengibaran Bintang Fajar dan Long March  Free West Papua bukan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Maka inilah fenomena kegagalan dan kedunguan aparat keamanan dan kehakiman Kita.

    Dialog Damai Mesti Direalisasikan

    Belakangan ini wacana dialog damai untuk Papua marak diwacanakan. Padahal dialog sendiri bukan barang atau isu yang baru muncul sebagai resolusi Konflik Jakarta Papua atau Papua Jakarta. Sejatinya, dialog damai ini telah didorong sejak 2009 oleh Pastor Dr. Neles Tebai (alm) dari Jaringan Damai Papua dan Dr. Muriddan Widjojo (alm), Peneliti Senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Konsep dan mekanismenya sudah ada dan siap, hanya tinggal direalisasikan. Namun hingga keduanya menghadap Sang Khalik pun dialog damai itu masih konsisten menjadi wacana dan rencana atau statement publik yang tak kunjung terjadi, (https://tirto.id/kepergian-neles-tebay-jalur-dialog-jakarta-papua-yang-jadi-sunyi-gcll, Selasa, 7-12-2021, Pukul. 17:01 WIT).

    Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh CNN INDONESIA, dengan tajuk Pendekatan Humanis Konflik Papua, Realistis Atau Utopia? Pada 03 Desember 2021, dimana tiga narasumber penting duduk membahas persoalan Papua. Hadir Ketua KOMNAS HAM RI, Ahmad Taufan Damanik, Staf Khusus Presiden untuk Papua Lenis Kogoya dan Direktur LBH Papua Emanuel Gobai. Berkenaan dengan resolusi Konflik Ahmad Taufan Damanik menegaskan mengikuti koridor pemerintah atau akan mendukung langkah diambil oleh pemerintah, dengan catatan jika mau dialog, mesti rumusnya ialah Dialog Kemanusiaan. Lenis Kogoya mengklaim bahwa sebagai orang Adat atau Kepala Suka Papua, beliau menyarankan agar rumusan dialog mesti bersifat dialog pembangunan dan kesejahteraan, beliau menambahkan bahwa masalah Papua mesti diselesaikan secara adat. Sementara Direktur LBH Papua menyarankan agar  KOMNAS HAM RI bersinergi dan berkonsolidasi dengan Jaringan Damai Papua (JDP) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sebab konsep dan mekanisme dialog damai itu telah lama dan alot diperjuangkan oleh dua lembaga tersebut, (https://www.cnnindonesia.com/tv/20211203213109-408-729736/video-pendekatan-humanis-konflik-papua-realistis-atau-utopia, Selasa, 7-12-2021, Pukul. 17:25 WIT).

    Hal ini teramat urgent sebab Pendekatan Pembinaan Teritorial dan Pendekatan Komunikasi Sosial, juga Konsep abal-abal dari Partai Adil Makmur, yakni Pendekatan Yang Mengedepankan Keterlibatan Masyarakat Adat, dan resep resolusi konflik lain tidak akan menciptakan Papua tanah damai. Di sini  penulis juga  menambahkan agar Jaringan Doa Rekonsiliasi Untuk Pemulihan Papua (JDRP2) juga mesti dilibatkan, sebab Dialog Damai dan Rekonsiliasi Damai merupakan dua mata logam Papua Tanah Damai yang tak terpisahkan.

    Penulis Adalah Siorus Degei Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua

     

     

     

    8 Tapol Jayapura Papua
    Aleks Waine

    Aleks Waine

    Artikel Sebelumnya

    Banyak Bukti, Ada Banyak Negara Yang Bubar...

    Artikel Berikutnya

    Lagi-lagi! Mahasiswa Meepago Minta Pemda...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Nagari TV, TVnya Nagari!
    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Progres Pembangunan Pagar Satuan Telah Mencapai 60%, Ini Yang Dikatakan Dandim Jayawijaya
    Hendri Kampai: Merah Putih, Bukan Abu-Abu, Sekarang Saatnya Indonesia Berani Jadi Benar
    Proses Evakuasi Tim PMI dan Personel Polres Puncak Jaya Polda Papua Terhadap 2 Jenazah Korban Penembakan

    Ikuti Kami